Perubahan ‘jabatan’ dari siswa menjadi mahasiswa seperti
suatu yang sangat sakral dan membanggakan bagi sebagian besar dari kita. Cukup
dengan penambahan suku kata MAHA, menjadikan kata siswa begitu agung dan penuh
dengan perubahan. Yang awalnya setiap hari harus menjalani rutinitas di
sekolah, dari pagi hingga siang, atau sore dengan pelajaran yang sudah
dibakukan menjadi kurikulum, memakai seragam setiap hari. Kemudian seketika,
frasa maha itu membuat semuanya berubah. Kuliah dengan waktu yang tidak
ber-pakem lagi , dengan mata kuliah yang bisa kita pilih sendiri, dan yang
biasanya paling ditunggu-tunggu seorang siswa yang beranjak menjadi mahasiswa
adalah, tidak perlu lagi memakai seragam untuk ke
kampus.
kampus.
Namun sedemikian sederhana kah perbedaan yang akan dialami dalam proses
transformasi dari siswa menjadi mahasiswa? Absolutelly No.
Diluar sekenario menyenangkan tentang kehidupan mahasiswa yang bebas, punya tanggung jawab pada dirinya sendiri, bisa memilih jalan yang bagaimana untuk menjalani hidup mereka, dan segala pernak-pernik yang menghiasi kehidupan mahasiswa, cinta, dan aksi.
Ada suatu yang ternyata tak akan pernah dimengerti sebelum menjadi mahasiwa itu
sendiri.
Idealisme, satu kata yang begitu sakral bagi mahasiswa kebanyakan. Yang
menghiasi setiap langkah kaki mereka menuju kampus untuk menuntut ilmu, dan
menuju ke jalan untuk menuntut keadilan. Yang seperti menjadi harga mutlak bagi
setiap mahasiswa untuk memilikinya. Menjadi napas kehidupan dan indikasi adanya
denyut pergerakan di kampus perjuangan. Apakah hanya itu artian idealisme?
mahasiswa adalah raga yang dijiwai idealisme atau itulah yang seharusnya. Akan
menjadi kebanggaan bagi mahasiswa saat mereka mampu mengusung panji-panji
perjuangan berlandaskan idealisme yang mereka anut. Idealisme-lah yang membawa
mereka di puncak pencapaian prestasi, dan idealisme pula-lah yang membuat
mereka turun ke jalan memperjuangkan keadilan dan kemakmuran rakyat di negeri
ini.
Jadi, seorang mahasiswa bukanlah sekedar robot yang selalu menjalankan
rutinitas yang sama setiap saat. Dimana mereka tidak benar-benar mengerti
tentang apa yang mereka kerjakan dan untuk apa mereka melakukan itu. Mahaiswa
seharusnya bukanlah seperti remaja laki-perempuan di dalam sinetron di televisi
yang memberi prosentase 90% untuk cerita cinta mereka sebagai muda-mudi dan 10%
untuk belajar. Namun bukan pula orang-orang anarkis yang begitu gemar adu fisik
dengan polisi pada saat melakukan unjuk rasa. Mahasiswa yang sesungguhnya
bukanlah pemain sinetron, karena hidup mereka di dunia nyata dimana banyak hal
yang jauh lebih penting dibandingkan sekedar disibukkan dengan konflik
percintaan mereka, yaitu membangkitkan diri untuk berprestasi dan membawa
kebermanfaatan bagi lingkungan mereka. Dan juga bukan manusia bar-bar yang
terlalu senang mengungkapkan opini mereka dengan tindakan fisik, karena
mahasiswa diajarkan untuk berdiplomasi selama itu masih mungkin.
Sebagai iron stock, mahasiswa adalah mata pisau perjuangan manusia Indonesia
untuk mencapai kemerdekaan yang sesungguhnya. Kemerdekaan dari perbudakan
ekonomi, kemerdekaan dari kemiskinan, dan kemerdekaan dari segala belenggu yang
menghambat sejahteranya masyarakat di bumi pertiwi ini. Menjadi agent of change
yang senantiasa membawa perubahan ke arah yang lebih baik bagi dirinya sendiri
maupun orang lain. Dan hal itu bisa dilakukan salah satunya dengan idealisme.
Dimana saat idealisme untuk menjadi mahasiswa yang sesungguhnya, yang memiliki
intelektualitas tinggi dan nurani telah tertanam dalam diri seseorang, maka ia
telah naik ke satu anak tangga menuju terbentuknya mahasiswa yang berkualitas.
Diluar dari semua itu, saya melihat sebenarnya tugas dan tanggung jawab sebaga
mahasiswa sangatlah berat. Bolehlah kita mengatakan bahwa kita adalah pemuda
harapan bangsa, namun pemuda seperti apakah kita selanjutnya. Masa ini adalah
salah satu penentu akan menjadi seperti apakah kita nantinya. Di titik inilah
kita mulai membangun idealisme dimana kita mendapat suplai ilmu dan suntikan
semangat untuk berlomba memiliki suatu yang begitu diagungkan oleh mahasiswa.
Sebuah kata agung bernama ‘idealisme’.
Namun pertanyaan yang sesungguhnya adalah, mampukah kita mempertahankan
idealisme kita disaat iming-iming kehidupan ‘makmur’ berada di hadapan kita dan
siap sedia berada di dalam genggaman tangan asalkan kita mau menukar idealisme
itu dengan berbagai rupa bentuk penghianatan terhadap suatu idealisme. KKN,
penipuan, bahkan tindakan kriminal sekalipun banyak dilakukan oleh orang-orang
‘terhormat’ yang dulunya aktif sebagai aktivis yang mengumbar idealism untuk
melawan ‘hadiah’ dari zaman Orde Baru berupa korupsi, kolusi dan nepotisme.
Melihat hal seperti itu membukakan mata saya bahwa tantangan yang sesungguhnya
adalah bukan bagaimana kita bisa memiliki suatu idealisme yang kuat. Tapi
bagaimana kita mempertahankan idealism itu tetap kuat disaat kita memiliki
kekuasaan dan berada di lingkungan dimana idealisme bisa dengan mudah
digadaikan. Itulah tantangan yang sebenar-benarnya.
Saya berharap keberadaan kita menjadi salah satu bagian dari ‘pemuda’ akan
mampu memberikan sumbangsi yang pada akhirnya membawa kebermanfaatan bagi diri
kita secara pribadi, orang lain, bangsa Indonesia, dan agama yang kita yakini.
Terdengar klise memang. Tapi tak ada salahnya berpikiran seperti itu. Dan saya
masih berharap, semoga idealisme yang kita semua agung-agungkan itu tidak akan
luntur setelah kita terlepas dari status sebagai mahasiswa dan terjun di
kehidupan yang sesungguhnya, to the real jungle.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar