Selamat Datang di Website Lembaga Pers Mahasiswa Urindo, LPMU "Respati News"

Jumat, 18 Januari 2013

Mahasiswa Itu Pasti, Dewasa Itu Pilihan

Oleh: Khairunnas Djabo

Sekilas meminjam slogan iklan salah satu produk, penulis mencoba plesetkan untuk menjadi judul tulisan ini, yang penulis yakini akan lebih mengena dihati pembaca.
Tindakan partisipatoris mahasiswa adalah kontribusi penting bagi tegaknya demokrasi. Mahasiswa memiliki tanggung jawab mengawal perjalanan demokrasi. Namun, ketika peran itu diaktualisasikan dengan cara serampangan, masihkah peran mahasiswa menemukan relevansinya ?


Kita sadari atau tidak, terkadang mereka menyuarakan aspirasi melalui cara yang kurang tepat. Tidak sedikit kasus anarkisme massa meledak saat mahasiswa turun ke jalan.Masih segar dalam ingatan kita, adalah perseteruan antara mahasiswa Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dengan aparat kepolisian beberapa waktu lalu. Jika tidak disikapi dengan arif, bentrokan yang tak hanya satu kali meledak itu selanjutnya akan melahirkan konflik yang tak kunjung usai.

Kesalahan terbesar yang acap terjadi adalah aspirasi nilai-nilai demokrasi yang dipraktikkan secara nondemokratis, sporadis, dan cenderung amoral.

Substansi demokrasi justru mengalami ketimpangan jika ide-ide original yang menyuarakan demokrasi disalurkan dengan jalan kekerasan, amuk masa, bahkan pembasmian (genicode). Ini adalah praktik demoralisasi demokrasi yang dalam pandangan Hedar Nasir , potensial mewabahkan krisis kemanusiaan.

Dalam situasi inilah kedewasaan mahasiswa teruji, bagaimana mereka membingkai masalah secara rasional, objektif, dan proporsional. Konflik yang muncul seharusnya ditilik secara arif. Di saat seperti inilah kepiawaian memindai masalah menemukan momentumnya.
,p>Akan menjadi ironi ketika cara menghadapi masalah ini mengesampingkan etika demokrasi yang seharusnya menjadi ruh bagi setiap model aksi partisipatoris. Etika penyaluran aspirasi ini menjadi penting diperhatikan untuk menciptakan situasi resolusi yang kondusif, yang mampu memindai masalah tanpa melahirkan masalah baru.

Anarki dalam aksi penyaluran aspirasi adalah sebuah tragedi dan bukan strategi. Anarki, di mana pun tempat, dalam situasi apa pun tak akan menyelesaikan masalah. Bahkan dalam tingkat eksterm, Beuken (2003:8) memandang, anarkisme dapat mencederai nilai-nilai kemanusiaan (crime against humanity).
Strategi Aksi mahasiswa dalam pelbagi masalah sosial dapat diasumsikan sebagai upaya konstruktif memindai masalah. Perhelatan mahasiswa dalam ruang publik adalah sebuah praktik check and balance mengawal demokrasi. Peran partisipatoris dalam pelbagi aksi adalah cermin idealisme mahasiswa memainkan peran sebagai agent of social change.
Peran ideal ini akan menjadi efektif jika patuh dengan etika demokrasi yang di antaranya tak membenarkan kekerasan dan adu kekuatan sebagai alternatif.
Masalah apa pun, terlebih ia melibatkan institusi publik, harus ditilik secara cermat, dengan mempertimbangkan etika perundang-undangan. Tidak merupakan solusi jika perusakan dibalas dengan perusakan. Aksi solidaritas partisipatoris tak mengidamkan hukum rimba sebagai metode.
Dalam setiap situasi konflik, peran mahasiswa mengandai strategi resolusi problem dengan tatanan yang apik. Kiprah mereka dalam ruang publik seharusnya tampil sebagai sosok terdidik yang tak hanya mengandalkan ideologi ansich. 

Ideologi penting, bahkan mutlak. Namun, jika ia dituangkan dengan cara yang serampangan, ideologi dan suara-suara yang mereka dengungkan hanya akan jadi agenda latah belaka.
Daya kritis mahasiswa tak selamanya dituangkan dengan suara lantang. Cara-cara kreatif dan santun akan lebih menarik simpati publik, sekaligus menjadi momen edukatif bagi tumbuh dewasanya demokrasi. Ini yang menjadi harapan kita agar karakter ini tumbuh di setiap pribadi mahasiswa Indonesia khususnya mahasiswa URINDO.

Hidup Mahasiswa !
Hidup Rakyat Indonesia !

Tidak ada komentar:

Posting Komentar