Sekilas meminjam slogan iklan salah satu produk, penulis mencoba plesetkan untuk menjadi judul tulisan ini, yang penulis yakini akan lebih mengena dihati pembaca.
Tindakan partisipatoris mahasiswa adalah kontribusi
penting bagi tegaknya demokrasi. Mahasiswa memiliki tanggung jawab
mengawal perjalanan demokrasi. Namun, ketika peran itu diaktualisasikan
dengan cara serampangan, masihkah peran mahasiswa menemukan relevansinya ?
Kita sadari atau tidak, terkadang mereka
menyuarakan aspirasi melalui cara yang kurang tepat. Tidak sedikit kasus
anarkisme massa meledak saat mahasiswa turun ke jalan.Masih
segar dalam ingatan kita, adalah perseteruan antara mahasiswa Himpunan
Mahasiswa Islam (HMI) dengan aparat kepolisian beberapa waktu lalu.
Jika tidak disikapi dengan arif, bentrokan yang tak hanya satu kali
meledak itu selanjutnya akan melahirkan konflik yang tak kunjung usai.
Kesalahan
terbesar yang acap terjadi adalah aspirasi nilai-nilai demokrasi yang
dipraktikkan secara nondemokratis, sporadis, dan cenderung amoral.
Substansi
demokrasi justru mengalami ketimpangan jika ide-ide original yang
menyuarakan demokrasi disalurkan dengan jalan kekerasan, amuk masa,
bahkan pembasmian (genicode). Ini adalah praktik demoralisasi demokrasi
yang dalam pandangan Hedar Nasir , potensial mewabahkan krisis
kemanusiaan.
Dalam situasi inilah kedewasaan mahasiswa teruji,
bagaimana mereka membingkai masalah secara rasional, objektif, dan
proporsional. Konflik yang muncul seharusnya ditilik secara arif. Di
saat seperti inilah kepiawaian memindai masalah menemukan momentumnya.
,p>Akan menjadi ironi ketika cara menghadapi masalah ini
mengesampingkan etika demokrasi yang seharusnya menjadi ruh bagi setiap
model aksi partisipatoris. Etika penyaluran aspirasi ini menjadi penting
diperhatikan untuk menciptakan situasi resolusi yang kondusif, yang
mampu memindai masalah tanpa melahirkan masalah baru.
Anarki
dalam aksi penyaluran aspirasi adalah sebuah tragedi dan bukan
strategi. Anarki, di mana pun tempat, dalam situasi apa pun tak akan
menyelesaikan masalah. Bahkan dalam tingkat eksterm, Beuken (2003:8)
memandang, anarkisme dapat mencederai nilai-nilai kemanusiaan (crime
against humanity).
Strategi Aksi mahasiswa dalam pelbagi masalah
sosial dapat diasumsikan sebagai upaya konstruktif memindai masalah.
Perhelatan mahasiswa dalam ruang publik adalah sebuah praktik check and
balance mengawal demokrasi. Peran partisipatoris dalam pelbagi aksi
adalah cermin idealisme mahasiswa memainkan peran sebagai agent of
social change.
Peran ideal ini akan menjadi efektif jika patuh
dengan etika demokrasi yang di antaranya tak membenarkan kekerasan dan
adu kekuatan sebagai alternatif.
Masalah apa pun, terlebih ia
melibatkan institusi publik, harus ditilik secara cermat, dengan
mempertimbangkan etika perundang-undangan. Tidak merupakan solusi jika
perusakan dibalas dengan perusakan. Aksi solidaritas partisipatoris tak
mengidamkan hukum rimba sebagai metode.
Dalam setiap situasi
konflik, peran mahasiswa mengandai strategi resolusi problem dengan
tatanan yang apik. Kiprah mereka dalam ruang publik seharusnya tampil
sebagai sosok terdidik yang tak hanya mengandalkan ideologi ansich.
Ideologi
penting, bahkan mutlak. Namun, jika ia dituangkan dengan cara yang
serampangan, ideologi dan suara-suara yang mereka dengungkan hanya akan
jadi agenda latah belaka.
Daya kritis mahasiswa tak selamanya
dituangkan dengan suara lantang. Cara-cara kreatif dan santun akan lebih
menarik simpati publik, sekaligus menjadi momen edukatif bagi tumbuh
dewasanya demokrasi. Ini yang menjadi harapan kita agar karakter ini
tumbuh di setiap pribadi mahasiswa Indonesia khususnya mahasiswa URINDO.
Hidup Mahasiswa !
Hidup Rakyat Indonesia !
Hidup Rakyat Indonesia !
Tidak ada komentar:
Posting Komentar